Metrotvnews.com, Jakarta: Sejumlah petambak udang
dari Desa Bratasena Adiwarna dan Bratasena Mandiri, Dente Telandas,
Tulang Bawang, Lampung mengadu ke Kontras, Jumat (8/3).
Mereka mengadukan kasus kriminalisasi yang dilakukan Kepolisian Sektor Gedung Meneng, Kepolisian Resor Tulang Bawang, serta Kepolisian Daerah Lampung.
Mereka mengaku, sejumlah kawan mereka dikriminalisasi akibat berkonflik dengan PT Central Pertiwi Bahari (CPB), perusahaan tempat petambak bekerja.
Awal permasalahan timbul karena budidaya PT CPB terpuruk karena penyakit yang tidak bisa diatasi teknologi, dan abrasi yang terjadi.
"Perekonomian kami menurun drastis. Dari sana kami berpikir, bagaimana perusahaan harus berubah. Dan kami sampaikan itu melalui lembaga yang dibentuk untuk menyampaikan aspirasi," Kata Bibit Saputra, salah seorang petambak, kepada Metrotvnews.com di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat siang.
Keberadaan organisasi tersebut, kata Bibit, karena merasa perjanjian kerja sama dengan PT CPB yang berlangsung selama 18 tahun, tak banyak memberikan perubahan kesejahteraan.
"Perjanjian kerja sama antara petambak dan perusahaan sebagai dasar kinerja, ternyata mengambil andil besar dalam menyengsarakan petambak," jelasnya.
Karena itu, kata dia, mereka membuat organisasi Forsil (Forum Silaturahim) untuk memperjuangkan hak.
"Namun dalam perjalanannya, Forsil malah dianggap masalah. Perusahaan tak mau lagi berkomunikasi sejak enam bulan lalu. Dengan tak adanya komunikasi, masyarakat merasa tidak tahu apa maunya perusahaan. Tapi perusahaan kemudian menerbitkan kebijakan yang menyudutkan kami," terangnya.
Dalam keterangannya, Syamsul Munir, staf Kontras yang mendampingi petambak mengatakan, PT CPB menerbitkan kebijakan yang merugikan petambak yang tergabung dalam Forsil.
"Perusahaan mem-PHK sembilan pengurus organisasi petambak, mem-PHK 100 istri petambak, dan menghentikan pinjaman biaya hidup dan paket natura bagi petambak, serta mengkriminalisasi 12 anggota lainnya" katanya.
Bentuk kriminalisasi tersebut, kata dia, adalah dengan membui pengurus bernama Edi Gading di Mapolda Lampung.
"Edi kena tuduhan pengrusakan aset perusahaan, dan sisanya masih dalam pemanggilan Polsek Dente Teladas dan Polres Tulang Bawang," imbuhnya.
Adapun Subiyanto, petambak lainnya, mengatakan, penyebab kriminalisasi tadi, adalah ketika petambak plasma tak diberikan biaya hidup oleh perusahaan. Sementara, mereka harus mengurus kebutuhannya sendiri.
"Karena perusahaan tak menebari tambak lagi, kami membuat opsi budidaya mandiri. Upaya itu secara otomatis membutuhkan air asin. Untuk mendapat air asin itu kami harus membuka pintu air asin. Kebiasaan ini biasa ketika budidaya di bawah perusahaan. Namun, upaya itu kemudian dikriminalisasi perusahaan dan akhirnya teman kami dipenjara di Polda Lampung," tegasnya.
Di sisi lain, Syamsul menambahkan petambak sudah mengadu ke Pemkab Tulang Bawang. Namun, pemkab malah mendukung kebijakan perusahaan untuk memberi pesangon kepada petambak. (Mufti Sholih)
Editor: Edwin Tirani
Sumber : Metro TV
Mereka mengadukan kasus kriminalisasi yang dilakukan Kepolisian Sektor Gedung Meneng, Kepolisian Resor Tulang Bawang, serta Kepolisian Daerah Lampung.
Mereka mengaku, sejumlah kawan mereka dikriminalisasi akibat berkonflik dengan PT Central Pertiwi Bahari (CPB), perusahaan tempat petambak bekerja.
Awal permasalahan timbul karena budidaya PT CPB terpuruk karena penyakit yang tidak bisa diatasi teknologi, dan abrasi yang terjadi.
"Perekonomian kami menurun drastis. Dari sana kami berpikir, bagaimana perusahaan harus berubah. Dan kami sampaikan itu melalui lembaga yang dibentuk untuk menyampaikan aspirasi," Kata Bibit Saputra, salah seorang petambak, kepada Metrotvnews.com di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat siang.
Keberadaan organisasi tersebut, kata Bibit, karena merasa perjanjian kerja sama dengan PT CPB yang berlangsung selama 18 tahun, tak banyak memberikan perubahan kesejahteraan.
"Perjanjian kerja sama antara petambak dan perusahaan sebagai dasar kinerja, ternyata mengambil andil besar dalam menyengsarakan petambak," jelasnya.
Karena itu, kata dia, mereka membuat organisasi Forsil (Forum Silaturahim) untuk memperjuangkan hak.
"Namun dalam perjalanannya, Forsil malah dianggap masalah. Perusahaan tak mau lagi berkomunikasi sejak enam bulan lalu. Dengan tak adanya komunikasi, masyarakat merasa tidak tahu apa maunya perusahaan. Tapi perusahaan kemudian menerbitkan kebijakan yang menyudutkan kami," terangnya.
Dalam keterangannya, Syamsul Munir, staf Kontras yang mendampingi petambak mengatakan, PT CPB menerbitkan kebijakan yang merugikan petambak yang tergabung dalam Forsil.
"Perusahaan mem-PHK sembilan pengurus organisasi petambak, mem-PHK 100 istri petambak, dan menghentikan pinjaman biaya hidup dan paket natura bagi petambak, serta mengkriminalisasi 12 anggota lainnya" katanya.
Bentuk kriminalisasi tersebut, kata dia, adalah dengan membui pengurus bernama Edi Gading di Mapolda Lampung.
"Edi kena tuduhan pengrusakan aset perusahaan, dan sisanya masih dalam pemanggilan Polsek Dente Teladas dan Polres Tulang Bawang," imbuhnya.
Adapun Subiyanto, petambak lainnya, mengatakan, penyebab kriminalisasi tadi, adalah ketika petambak plasma tak diberikan biaya hidup oleh perusahaan. Sementara, mereka harus mengurus kebutuhannya sendiri.
"Karena perusahaan tak menebari tambak lagi, kami membuat opsi budidaya mandiri. Upaya itu secara otomatis membutuhkan air asin. Untuk mendapat air asin itu kami harus membuka pintu air asin. Kebiasaan ini biasa ketika budidaya di bawah perusahaan. Namun, upaya itu kemudian dikriminalisasi perusahaan dan akhirnya teman kami dipenjara di Polda Lampung," tegasnya.
Di sisi lain, Syamsul menambahkan petambak sudah mengadu ke Pemkab Tulang Bawang. Namun, pemkab malah mendukung kebijakan perusahaan untuk memberi pesangon kepada petambak. (Mufti Sholih)
Editor: Edwin Tirani
Sumber : Metro TV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar