BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Sekitar 100 warga,
aktivis sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dan petambak plasma
berunjuk rasa di depan Markas Kepolisian Daerah Lampung, Kamis
(25/4/2013) sore. Mereka menuntut dibebaskannya Ketua Forsil Petambak
Central Pertiwi Bahari, Cokro Edi Prayitno.
Para pengunjuk rasa,
yang menamakan diri sebagai massa Gerakan Rakyat Lampung dan Aliansi
Pro-Demokrasi, ini meminta polisi tidak mengorbankan dan mengkriminalkan
petambak plasma dalam konflik kemitraan yang terjadi di tambak CPB di
Dente Teladas, Tulang Bawang, Lampung.
Sejumlah pengunjuk rasa
mengenakan kostum pocong sebagai simbol matinya penegakan hukum
berkeadilan. Mereka juga membawa poster-poster bertuliskan "stop
kriminalisasi terhadap petambak", "hentikan premanisme di tambak", dan
"PT CPB dalang aksi premanisme terhadap petambak".
Abu Hasan dari
Gabungan Petani Lampung, dalam orasinya mengatakan, tindakan penangkapan
terhadap Cokro Edi dan salah satu pengurus Forsil lainnya, yaitu Edi
Gading, oleh polisi adalah bentuk intimidasi terhadap petambak plasma
CPB yang tengah mengkritik soal kemitraan dengan perusahaan.
"Kepolisian
harus bersikap netral. Kalau perusahaan yang salah, tangkap juga dong
orang perusahaan. Jangan rakyat (petambak plasma) yang selalu dijadikan
kambing hitam," ujarnya.
Heri Usman dari Aliansi Pro Demokrasi
menambahkan, penangkapan Cokro Edi sangat menyinggung rasa keadilan.
"Karena, Forsil dan P2K (Petambak Peduli Kemitraan) yang terlibat dalam
tragedi Bratasena itu sebetulnya merupakan korban dari intrik-intrik
yang dilakukan perusahaan," ujarnya.
Darsono (43), petambak dari
Kampung Bratasena Adiwarna, mengatakan, polisi seperti berpihak ke satu
pihak saja dalam pengungkapan kasus bentrokan di tambak Bratasena.
Fakta-fakta lainnya, misalnya pihak perusahaan turut mengerahkan massa
sebelum bentrokan terjadi, lalu karyawan CPB dan P2K diperintahkan
menghadang Ketua Forsil, diabaikan oleh penyidik.
"Ada konspirasi,
disiapkan matang. Sebelum kejadian, massa mereka (P2K dan karyawan CPB)
memutus jalan dan membuat alat-alat untuk perang, seperti katapel dari
besi. Pelurunya dari baut-baut. Mereka yang menyerang dulu dengan ini.
Kawan luka-luka, lalu berupaya membalas untuk mempertahankan diri,"
tutur Sugianto (37), petambak plasma lainnya menceritakan peristiwa
bentrokan 12 Maret silam.
sumber : kompas online 25 april 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar